Kumpulan Puisi Jamal T
Suryanata
Kumpulan Puisi Jamal TSuryanata, Jamal T. Suryanata dilahirkan
pada 1 September 1966 di Kandangan, Kalimantan Selatan. Menyesaikan
pendidikannya di STKIP PGRI Banjarmasin, Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah, dengan skripsi berjudul “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani
dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian Sebagai Titik Tolak
Pengkajian” (1999) dan di Program Pascasarjana FKIP Unlam Banjarmasin dengan
mengangkat tesis tentang “Cerpen Banjar 1980-2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan
Konteks Sosialnya” (2004). Mulai menekuni dunia penulisan sejak akhir dekade
80-an, tetapi merasa kian serius baru sejak awal 90-an. Karya-karyanya berupa
puisi, cerpen, kritik dan esai sastra, serta artikel umum lainnya pernah dimuat
di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Bali Post, Koran
Tempo, Kompas, Swadesi, Wanyi, Ceria Remaja, Al-Zaytun, Matabaca, On-Pff, Gong,
Matra, Basis, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kebuadayaan Kandil, dan
Dewan Sastera (Kuala Lumpur, Malaysia). Sejumlah puisi, cerpen, dan esainya
ikut disertakan dalam beberapa buku antologi bersama seperti Festival Puisi
Kalimantan (1992), Tamu Malam (1992), Bosnia dan Flores (1993), Batu Beramal 2
(1995), Kebangkitan Nusantara II (1995), Antologi Puisi Serayu (1995), Jendela
Tanah Air (1995), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Angkatan 2000 dalam Sastra
Indonesia (2000), Wasi (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Dian Sastro for
President! (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005),
Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera (2005), Seribu Sungai Paris Barantai
(2006), Sastra Banjar Kontekstual (2006), Tongue in Your Ear: Indonesian Poetry
Festival (2007), dan sajaknya ”Datanglah Sang Cahaya” telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Portugal —dimuat dalam buku Antologia de Poeticas: Antologi Puisi
Indonesia—Portugal—Malaysia (2008). Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia
juga menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Banjar. Buku-bukunya yang sudah
diterbitkan adalah Untuk Sebuah Pengabdian (Balai Pustaka, 1995), Mengenal Teknologi
Penerbangan dan Antariksa (Adicita Karya Nusa, 1998), Di Bawah Matahari
Terminal (Adicita Karya Nusa, 2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra
(Adicita Karya Nusa, 2003), Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Cerpen bahasa
banjar, Radar Banjarmasin Press, 2005), Penyesalan Sang Pemburu (Pabelan Cerdas
Indonesia, 2005), Bulan di Pucuk Cemara (Cerpen, Gama Media dan LPKPK, 2006),
Bintang Kecil di Langit yang Kelam (Cerpen, Tahura Media, 2009) dan Debur Ombak
Guruh Gelombang (Puisi, Tahura Media, 2009);
Puisi Jamal T. Suryanata dalam
Debur Ombak Guruh Gelombang;
Dengan Sajak
dengan sajak kutitipkan rindu
laut pada pantai yang
menggaramkan buihnya
dengan sajak kudedahkan cinta
bunga pada angin yang
menyerbukkan putiknya
dengan sajak kularutkan mimpi
embun pada awan yang merelakan
hujannya
dengan sajak kutadahkan pinta
perahu pada sungai yang
menyisir arusnya
dengan sajak kutorehkan luka
hutan pada kota yang merabuk
kepurbaannya
dengan sajak kudendangkan
puisi
agar setiap kata menjelma
semesta doa
dengan sajak kutarikan zikir
hingga segalanya merabuk dalam
ketiadaan
2002
Pada Akhirnya
akhirnya kita tinggalkan
pantai itu
dengan diam yang menghapus
peristiwa
tanpa jejak tanpa segores
sejarah
ada yang tetap tersembunyi di
situ
bait-bait puisimu masih
bisikkan cinta
pada angin yang selalu memburu
gelombang
ada yang tetap tak terungkap
di situ
meski bahasa telah lahirkan
berjuta kata
untuk menerjemahkan
tanda-tanda
akhirnya kita tinggalkan pantai
itu
dengan bisu laut kekalkan
jagat samudera
suara ombak yang selalu
membentur di dada
maka simpanlah rindumu di
pantai itu
pada kedalaman laut yang
sembunyikan cinta
sebelum pasang kembali
menyisir segala
2001
Sungai Embun
akhirnya harus kusudahi kertuk
dayung ini
kayuh perahu sang fakir
zikirkan malam
sebelum laut pasang membingkai
gelombangnya
akhirnya mesti kulunaskan
rindu daunan ini
pada peluk embun yang gigilkan
kelelatu
selepas terbangnya memburu
bising kota
sebelum maut datang bekukan
dunia raya
akhirnya kusebut sungai embun
—firdausku
dari lepas tangkap menyusuri
beribu sungai
taman cinta yang selalu
wangikan langkah
para zahid menuju puncak damai
pengembaraan
sebelum malam kembali
melingkup rahasianya
1993
Aforisme Sekuntum Mawar
pada duri yang menjaga tidurmu
kupinjamkan sebait sajak cinta
dunia kata yang menerbangkan
mimpi
menuju keasingan demi
keasingan
kota yang membawamu ke puncak
peradaban
“aku hanya ingin menjadi
diriku
selalu terjaga di antara
duri-duri
rahasia yang tak perlu
kaupahami
maka sudahilah,” katamu dengan
mata nanar
seakan menyangsikan keakanan
yang jauh
sekarang tak lagi kutulis
sajak cinta
tapi kerinduan itu telah
menghanguskan segala
bahkan mantra pun telah
kehilangan tuahnya
“aku hanya ingin menjadi
diriku
selalu terjaga di antara
duri-duri,”
ulangmu sekali lagi dengan
galau di dada
kalaupun tak lagi kutulis
sajak cinta
cahaya rindumu sudah terpantul
di situ
pada damai suara keilahian
1995
Lagu Gelombang
gemuruh yang senantiasa
getarkan dada
apungkan kapal-kapal mimpi
hingga korona
selepas perih saat kelasi
angkat sauh
gelombang yang selalu geram
memukul dunia
menepis zikirku hingga ke
batas sunyi
pada damai pantai yang
mengatas keniscayaan
o, keabadian yang terus
merajut kisah cinta
yang meluluh sujudku dalam
rindu berkepanjangan
debur ombakmu menggema sampai
ke bising kota
seperti lagu gelombang yang
tak sudah terbaca
seperti lagu gelombang yang
tak sudah terbaca
sampai jua syahadatku
mendampar di sunyi pantaimu
badai rindu yang terus
menggelorakan api cinta
laut yang senantiasa terjaga
dalam rahasia
1995
Kubah Hijau
di sinilah kulihat rumi
menari-nari
mengitari titik damai sambil
pejamkan mata
seperti laron tak jemu-jemu
memuja cahaya
berputaran mengukir zikir
sebagai hamba
di sinilah kutemukan rabi’ah
bersunyi-sunyi
meneteskan airmata dalam
kehangatan cinta
seperti balam biduan nyanyikan
lirik rindu
tak sudah-sudah membentang
sayap zahidnya
di sinilah kukenang al-hallaj
dengan jubahnya
menunggu maut dalam senyum
rela semata
seperti ismail memandangi
kilat pedang ibrahim
yang segera mengayun menembus
batas syahadat
di sinilah hafizh, zunnun,
sa’di, sana’i
para pencinta yang mengatas
ruang waktu
dari segala zaman dari segala
peristiwa
menyatu dalam kata, keagungan
asmaul husna
kunamai dia sebagai kubah
hijau, rumahmu
ruang pertemuan segala makhluk
segala rupa
bukan di sana karena ia ada di
mana-mana
tapi di sini, di kedalaman
hati para pencari
2002
Tarian Hujan
siapa lagi yang menoreh sepi
di dada ini
ketika langit tak cukup ramah
membaca senja
siapa lagi yang terkubur di
pintu luka
kalau angin pun selalu
mengendap bisu
dingin hujan masih setia
mengulum embun
yang tersisa di daunan selepas
kuncup pun
bermekaran menyongsong
keniscayaan malam
di sini, kau pun berasa giris
menatap
gurat-gurat wajah sendiri di
bayang musim
dan pada mungil bibir yang
kehilangan kata
wahai, masihkah cinta membelai
semesta?
dalam rinai hujan yang
gigilkan dunia raya
untai tasbihmukah terdengar
kelu mengucap rindu?
1994
Perjalanan Kesunyian
telah kutafsirkan namamu,
wahai diam
dalam gaduh bunyian yang
tabuhkan maut
dari kemersik daun-daun
bersahut rindu
desah angin yang senantiasa
berzikir
menyapu gelombang di keluasan
lautmu
telah kubaca nun dari sunyi ke
sunyi
puncak syahadat yang gigilkan
peradaban
galau dunia dalam
ketelanjangan malam
melepas dekor-dekornya menuju
ketiadaan
wahai diam, segala kupulangkan
padamu
ya, inilah kisah perjalanan
sunyiku
biduk cinta sang fakir memikul
mimpi
melukis kota-kota dalam dingin
tahajjud
sebelum nafasku kehabisan
ghirah-nya
inilah untaian gurindam sang
perindu
selalu bernyanyi dalam gelora
cinta
mengekalkan keindahan sunyi
demi sunyi
lalu segala bermuara pada
keabadianmu
2001
Mengarungi Samudera
lihatlah, sayang, betapa
lengang bidukku kini
setelah lelah memandangi
pantai yang jauh
pertukaran abad yang terus
dikunyah usia
seperti permen karet
—kehidupan, kematian
berganti tangkap nyanyikan
sawang di langit senja
mengiring burung-burung pada
sarangnya
alangkah sunyi, wahai,
alangkah kian sendiri
dalam debur ombak, guruh
gelombangmu
meski empasan tajam memuncak
amuk
tak terasa —ya, sungguh tak
terasa
maka sekalian saja kurangkul
segala cinta
ingin kusudahi rindu beribu
rindu di dada
tanpa kerumitan filsafat dan
matematika
kembalilah, ya, burung
makrifatku
pengembaraan jiwa mengitari cakrawala
masuklah ke dalam sangkar
damaiku
dalam biduk sunyi yang terus
kukayuh
mengarung keluasan samudera
tak berbatas
pelayaran panjang menuju
puncak tiada
mengarungi samudera, rahasia
al-fatihahmu
duhai, betapa dingin, betapa
dinginnya
2002
Prosa Setangkai Anggur
(yang masih bernyanyi di
lengang malam
adalah kepak asing beribu
kelelawar
yang berkelebatan di taman
anggur
bising menangisi kepergian
senja raya)
“kamilah penjaja mimpi
sepanjang malam
selalu memeluk gelap dengan
airmata,”
bisikmu giris dari sebuah
lorong sunyi
tapi malam hanya menyeringai
tanpa kata
bungkam dalam kegamangannya
sendiri
“sudahlah, tinggalkan isak
tangismu
dan bernyanyilah bersama
kami,”
pinta ribuan kelelawar yang
menari berputaran
sambil mengunyah renyah ranum
anggur
dalam kegelapan yang kian
pekat
(setangkai anggur telah lepas
dari tangkainya
merenungkan perjalanan malam
yang kian hitam
wahai, keniscayan yang
mematikan bahasa cinta)
1995
Metamorfosa
menuliskan tangismu, batu
orang-orang menekuri sejarahnya
sendiri
pada kepompong yang sunyi
“bukankah kami cuma batu
saja?” katamu
—bahasa menjadi satu-satunya
dunia
untuk terbangkan mimpi beribu
mimpi
menuju ketinggian
antena-antena televisi
yang luluh meleleh di batas
cakrawala
dan senantiasa ada yang tak terungkap
hingga terus membeku dalam
rahasia
membaca detak jantungmu, batu
seperti setiap orang menikmati
surat cinta
yang terlempar dari tangan
anak sekolah
“tetapi cuma batu yang
terbaca,” katamu
—gairah pun kian mengering di
sini
o, peradaban yang membangun
tugu-tugu
di mana bibir dunia tak lagi
mampu bicara
tentang pasir yang terhampar
di pantai ini
setelah ombak tenggelamkan
kapal-kapal mimpi
terkubur dalam sunyi matahari
yang sendiri
menggelar kehidupanmu, batu,
batu
aku bermimpi menjadi manusia
di sini, cuma batu saja yang
terbaca
1995
Negeri Cinta
akulah anak sungai yang terus
mengalir
dari celah batuan menderas
menuju muara
damai keilahianmu yang selalu
merindu
gelora cinta berjuta musafir
yang dambakan
kesudahan lelahnya di
kedalaman lautmu
akulah burung perindu yng
terus mengepak
terbang memburu keindahan
semesta cintamu
mengarung cakrawala mengorak
sayap doa
sambil membaca tanda-tanda di
kerlap dunia
memahat langit mengekalkan
rindu di dada
engkaulah negeri cinta
tempatku bermuara
engkaulah negeri cinta
tempatku berpinta
arusku membeku dalam dingin
laut cintamu
kepakku luruh dalam kehangatan
rindumu
wahai, negeri cintaku, ujung
kesudahanku
1996
Merenungkan Kematian
kematian itu, katamu dalam
bahasa rindu
seperti burung yang mengepak
di cakrawala
dengan sayap meluruhkan
bulu-bulunya
menuju kesangsian semesta
kematian itu, katamu dalam
bahasa cinta
adalah jalan sunyi sebuah kota
keabadian
yang redup dinaungi cahaya
senjakala
matahari yang lepaskan canda
dunia raya
tapi, katamu lagi dalam senyum
dan airmata
kematian itu adalah bayang
keniscayaan
yang kadang menjelma jadi
riak-riak sungai
gelombang laut yang setia
menyisir pantai
atau sekadar mimpi buruk
anak-anak zaman
yang kehilangan dunianya —api,
nyala bernyawa
bara, panas yang kehilangan
daya hangusnya
seperti tafsir kemerdekaan
yang kian redup
dalam pesona iklan-iklan
ketelanjangan
kematian itu, katamu lagi
dengan rasa giris
sebagai tebasan beribu mata
pedang
perih torehan silet, hunjaman
mata kapak
atau tusukan belati tanpa
kesudahan
kematian itu, ya kematian itu,
kekasih
sebentuk damai cinta yang kita
jelang
1997
Gurindam Perjalanan
seperti awan tebal yang terus
berarak
mengusung ribuan abad menuju
keakanan
kita masih gairah menyusuri
pantai ini
imbangi gerak jarum jam
memburu waktu
tak tahu sampai di mana
kesudahannya
kita baca setiap huruf mengeja
kata
gurindam perjalanan yang
membelah dunia
sambil renungkan luruh daun
kemboja
yang terus riuh zikirkan
nyanyi semesta
usai hujan menyapu debu di
kota-kota
barangkali kita harus belajar
kembali
mengeja tanda-tanda dengan
dingin airmata
karena tuhan pun telah kita
pertaruhkan
dengan wangi bungaan
kehilangan mahkota
atau jerit burung-burung
menekuri kepaknya
apalagi yang tak mungkin
terkata di sini
batu-batu berdebu digerus jadi
permata
hantu dan peri terusir dari
sarangnya
kubur-kubur keramat ketiadaan
sakralnya
semua pergi melukis sangsi
semesta
1999
Menangisi Sajak-sajakmu
seperti sekawanan camar yang
beterbangan
selepas kepak terakhir
mengitari awan biru
dan laut keniscayaanmu yang
tak berhingga
aku bersimpuh, luruh dalam
gigil tahajjud
bibir yang kelu mengucap zikir
padamu
“mari, kekasihku!” kauseru
kegamanganku
yang menggantungkan senyum di
arasy-mu,
“kita tatap kembali silau
rembulan itu, o
akankah sejarah masih setia
menuliskan
setiap percik dari ombak yang
terus memburu
sebelum pantai kembali memagut
sunyinya?”
tapi kucium peluh kesangsian
di sini
yang mengalir dari sungai masa
lalu
irama jantung yang
mengiris-iris kenangan
titik-titik hitam —kabut yang
kian mendinding
bias cahaya keilahianmu
selunas tangisku
“kemarilah sekali lagi,
wahai!”serumu
dengan senyum yang
menggetarkan rinduku,
“mari kita cumbu kembali
pergantian musim
yang berlarian menuju
kedamaian cinta
sebelum ombak kembali memecah
di pantai ini
sebelum maut membekukan segala
pinta!”
menangisi sajak-sajakmu,
samudera alifmu
yang terus membuih dalam
figura bahasa
serasa sujudku tak sudah-sudah
mengalirkan
dingin airmata yang terus
mengeja rahasia
mengekalkan rindu ombak pada
pantainya
1999
Seloka Burung Kertas
seribu tahun aku menatapmu
dari langit senja
dari desah angin pantai yang
memburu sunyi
kepakmu selalu meluruhkan bulu
kepasrahan
sepuluh abad aku terus
menafsirkan rindumu
kerinduan yang selalu
membarakan api cinta
terbangmu merajut mimpi
melipat masa silam
“tak usah pedulikan galau
risauku,” katamu
sambil terus mengepak
menggaris cakrawala
melampaui persenggamaan abad
dan jagat
“aku ingin jadi pengembara
saja,” ucapmu lagi
tanpa perlawanan pada badai
kabut limbubu
yang mengentalkan danau
syahadat di kakimu
burung kertas yang membentang
zikir langit
meretas langkah menuju jejak
keabadian
adalah burung pendaki di tikar
sembahyangku
burung kertas yang
senandungkan lagu cinta
mengorak sayap menuju puncak
ketiadaan
adalah burung perindu dalam
sunyi tahajjudku
burung kertas, kuhela engkau
menuju sunyi
kulepas engkau dengan rindu
sehabis rindu
kugiring engkau menuju langit
keilahian
2000
Kumpulan Puisi Jamal T Suryanata Sumber ; Data buku kumpulan puisi, Judul : Debur Ombak Guruh
Gelombang (Sajak-sajak 1993-2002), Penulis : Jamal T. Suryanata, Cetakan : I,
Oktober 2009, Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin, Tebal : xvi + 94 halaman (
80 puisi), ISBN : 978-60284140-3-16, Pengantar : Maman S. Mahayana Baca berikutnya...