Kumpulan Puisi-Puisi Lengkap Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi
Kumpulan Puisi-Puisi Lengkap Ekohm Abiyasa, Malam Sekopi Sunyi. Tentang Ekohm Abiyasa, Ekohm
Abiyasa lahir tahun 1987 di Karanganyar, Jawa Tengah. Penikmat seni dan sastra
terutama puisi. Mulai menulis puisi ketika SMP. Karya-karyanya dipublikasikan
di Indopos, Solopos, Joglosemar, Suara Merdeka, Suara Karya, Kendari Pos,
Minggu Pagi, Koran Merapi, Frasa, Buletin Sastra Pawon, Buletin JEJAK, dan
lain-lain. Puisi-puisinya termaktub dalam antologi puisi bersama: Requiem Bagi
Rocker (Taman Budaya Jawa Tengah, 2012), Wuyung Ketundhung (Pawon Sastra Solo,
2012), Satu Kata: Istimewa (Ombak Yogyakarta, 2012), Dari Sragen Memandang
Indonesia (Dewan Kesenian Daerah Sragen, 2012), Indonesia dalam Titik 13 (Dewan
Kesenian Kota Pekalongan dan Dewan Kesenian Pemalang, 2013), Bangkitlah Pejuang
Mimpi (Rasibook, 2013),Merawat Ingatan Rahim (Jejer Wadon dan Komnas Perempuan
Solo, 2013),Puisi Menolak Korupsi (Jilid I) (Forum Sastra Surakarta, 2013),
Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (Dewan Kesenian Kudus, 2013), Habis Gelap
Terbitlah Sajak (Forum Sastra Surakarta, 2013), Lentera Sastra II(Lentera
Foundation, 2014), Solo dalam Puisi (Pawon Sastra Solo, 2014),Dari Negeri Poci
5: Negeri Langit (Kosakatakita, 2014). Bergiat di Pakagula Sastra
Karanganyar-Jawa Tengah, dan Bengkel SastraSurakarta. Kumpulan puisi
tunggalnya, Malam Sekopi Sunyi (Mozaik Indie Publisher, 2013).
Puisi Bung Karno
Malam
kopi, hujan, puisi dan mantra
ajaib
menuju malam yang ghaib
Jakal KM 14 Yogyakarta, 03
November 2012
Sekopi
sehitam kopi menjamahi malam
menuju kopi rindu yang hitam
Ruang Maya, 07 Juni 2012
Sunyi
sunyi tak beratur ini
sepertinya masih ingin
mempermainkanku saja
aku ingin membunuhnya
sekali saja
menuju kesunyian abadi
Karanganyar-Solo, 24 April
2009
Sepi Selalu Tahu Cara
Mendengungkan Puisi
: Lucia Dwi Elvira
puisi selalu tahu cara
mengobarkan sepi, katamu
hujan yang bersendawa
menguliti rindu berkeping
di antara kesunyian mata kita
jiwa-jiwa terkikis beralaskan
hening
dan datanglah para perangkai
kata-kata, katamu
penabur sunyi
paling puisi
sepiku adalah sepimu
rinduku adalah rindumu
di gigir rona jingga berpadu
meruntuhkan dingin rindu beku
selama kita hening menuju
pada getir malam yang semakin
mengendapkan ruang semu
puisi selalu tahu cara
mengobarkan sepi, katamu
sepi selalu tahu cara
mendengungkan puisi, kataku
Ruang Maya,Jakal KM 14
Yogyakarta, 24 Oktober 2012
Pualam Sunyi
rindu ini legam hitam
searoma dengan kopi
yang mengepul asapnya
cinta ini keras pualam
sekawan dengan batu-batu sunyi
yang memiliki keteguhan dari
marabahaya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30
Juli 2012
Sajak Kematian Matahari
pagi
angin berhembus dingin
gemuruh mesin kendaraan
memanggil bising
matahari mencuat menerkam mata
yang masih pekat, mimpi-mimpi sunyi
siang
angin berhembus sepoi
mencari teduh bayang-bayang
nyanyian kehidupan mengalun di
pelataran
sekerat tekat dan keberanian
matahari mencabik, mengkristalkan
keringat
sore
angin berhembus menentramkan
jejak-jejak kaki menapak di
pantai
menjelang kematian, matahari
mengantarkan kita sampai di sini
pulang ke rumah abadi
malam
angin berhembus muram membaca
tanda-tanda temaram
tiba-tiba kita berhenti
tertawa
kita lupa jalan pulang
Karanganyar-Solo, 27 November
2010
Mencari Guru Sejati
/1/
dalam darah, dalam darah
mengalir suara-suara
sunyi menghantarkan detak yang
berirama
jiwa merebah
dalam darah, dalam darah
Karanganyar-Solo, 25 Juli 2009
/2/
untuk kesejatian diri
sekerlip temaram
dalam sunyi
untuk mengadu hati
seluruh malam
sisa-sisa penghabisan
dalam relung hati yang kian
terjal menelusuri eksistensi
Karanganyar-Solo, 03 Juni 2011
Pencuci Malam
: pencari sunyi yang berkawan
dengan aroma kopi
berapakah malam yang kau pinta
hujan yang turun adalah
penyeduh ilusi
berapakah sunyi yang kau
rupakan?
gerimis adalah penggoda
malam-malam kesepian
sebuah tempat dan sunyi kau
rebus demi dahaga yang menahun
dalam kotak-kotak kamar
hitam dan putih membelah
halaman rumah tua
berderet tebal halaman buku
di atas rak meja masih tertata
juga
belum sempat menguliti isi
dari pada daging
kita, segumpal daging
seonggok dosa dan doa mencekam
sesudah menyeduh teh panas
atau kopi yang membarakan jantung
sebatang demi sebatang jadi
asap lenyap di udara begitu saja
kamu kumandangkan larik-larik
resah dan bungah
berharap pada tangkai-tangkai
yang bertumbuh
jadi buah-buah rindu
pada siapa kau akan menjaga
dan meminangnya?
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01 Mei
2012
Kerikil-kerikil Pencerah
: Firdaus Septyan Luthfy
temaram jalanan Yogya
mengantarku pada bait kesekian kisah hidup
perjalanan yang melelahkan
temanku, si hati yang gelisah
kemana lagi kerikil hidup ini
akan menancap
hidup adalah engkau melempar
sebuah dadu dan kau jadi pucat pasi
bukankah ini skenario
kehidupan yang mesti dikunyah dan ditelaah
jangan enggan untuk mendekat
mencapai kesejukan batin yang
engkau harap
bait-bait derita masih
menunggu di halaman sunyi
kerikil-kerikil membawa pada
pencerahan hidup
seperti bunga yang rajin
menarik lebah berdatangan
Yogyakarta Undercover, 27
Oktober 2012
Catatan: Dimuat buletin Pawon
Sastra Solo, edisi #37 tahun VI/2013.
Malam Seorang Pejalan Jauh
malam adalah tempat persinggahan
kepala dalam hati
pada simpang perjalanan waktu
yang terburu
pemburu sunyi
berartikah engkau di sisiku
seberapa pula terang rindu
yang kau ceritakan
malam adalah tempat cerita
kepala dalam renungan
ketika siang adalah
buang-buang kata
senyum itu memudar
kiasan yang memendar; semu
belaka
tahukah engkau, sesakit apa
hati?
: tentang gelisah
pada malam
pertanyaan-pertanyaan
mengekal dalam kolom abadi
langit
tersimpan rapat untuk jejak
kesekian
dan pagi yang membutakan
malam adalah rupa asap
beterbangan
dupa seorang pejalan jauh yang
kelelahan
menanti hujan makna dalam
ladang jiwa yang gelisah
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19
September 2012
Catatan: Dimuat Majalah Sastra
Digital, Frasa. Edisi 7 Tahun I 2012
Sepucuk Pagi dan Mimpi Beku
/1/
merengkuh riuh napasmu
hati yang membelukar
semak semakin liar
ombak menepi di lautmu yang
cemar
perih
rindu pun retak
aku merindu kisahmu yang
hingar
merangkumnya di belantara
dunia yang berkelakar
semakin derap kusapa bayangmu
kapal telah lepas jangkar
dan dadamu membekas memar
Ruang Maya,Jakal KM 14
Yogyakarta, 28 Desember 2011
/2/
jadi tentang dingin rindu
yang
ketika kau buka pintu
udara berhembus sejuk
di dadaku
dan
pula kisah semalam
ada geletar darah yang
menggebu
ini makin membunuhku
rindu pilu
Ruang Maya,Jakal KM 14
Yogyakarta, 10 Juni 2012
Seperti Ampas Kopi
segelas kopi selesai kubikin
menyesap rindumu kuingin
seperti panas kopi ini
mengulang-ulang rindu yang
makin mendaki
separuh waktu mungkin
kuhabiskan sisa-sisa napas
dalam padang luas
berapa waktu yang akan kau
beri?
betapa rindu mengendap seperti
ampas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16
Maret 2012
Dalam Cangkir
rasanya ingin menggunting
jarak
makin tunas rasanya, rasa yang
ada
rindu yang terjalin mengerat
dan berat
memindahkan tubuh pada ruang
sunyi lagi
di beranda berpetak
meminjam nada-nada dan
suara-suara yang disuka
kemudian mengalun dan
bersenandung sendiri
selagi senja menghangat
dirimu teraduk dalam cangkir
senja yang membumi
secangkir kopi dan imajinasi
kusesap dalam-dalam
dan rindu bertebaran memenuhi
warna pelangi di kejauhan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 12
April 2012
Tentang Metafora Birahi Laut
: Dino F. Umahuk
lembar demi lembar
mengayuh asin setiap goresan
yang tercetak
beribu kata rapi tersusun
menghimpunkan sunyi Metafora
Birahi Laut
tentang perjalanan seorang
anak bahari berpagarkan rindu dan ombak-ombak
lembar demi lembar
meresap kata-kata yang tak
mampu kutenggak
menjadikannya tulang sumsum
dan tombak
angan dan imajiku setia
berlayar di halaman-halamanmu
setiap rekahan kata-katamu
adalah penegak
memburu nasib dan rasi di
langit utara
Karanganyar-Solo, 28 Agustus
2008
Mimpi, Rindu dan Perjalanan
yang Memabukkan
bertautan berkali, mati
sendiri akhirnya
pucuk-pucuk mimpi dan sunyi
menggelembung kekal seperti
balon udara siap terbang berkelana udara utara
ia berjalan kembali
bersakit meski
mati pula nantinya
geregetan melihat rona pelangi
suka mempermainkan hati
di ujung perjumpaan
oleh sebab ketiadaan ia
menghilangkan jejak-jejak yang sempat tertaut
beranda hampir musnah sekali
ketika mengingat bayang itu
mencabik luka
temaram semakin gelap dan
tersamarkan oleh nyali
ketakutan dan kekawatiran
menjadi hidangannya
udara semakin keruh oleh
kata-kata
tulisan dan nama-nama yang
terpampang pada buku-buku tebal berhalaman api
tertekan oleh maut yang
mengintai
derap darah yang membercak
kentara
sendirian ia akan mengarungi
halaman-halaman sunyi
mencoba hal-hal yang belum
terpikirkan dan termimpikan olehnya
sebab udara kian jauh bila tak
harus bersua
oh, kotak ini terkunci rapat
sekali
sudah cukup perjumpaan ini
wajahmu pasi hai purnama
masih ada sisa waktu dan napas
dalam perjalanan nanti
boleh aku berpamitan sejenak,
merampungkan hening rindu dan kata-kata
sisa malam berangkatlah
mencari sekerat daging yang terpisah dari jiwa
dan anggur-anggur memabukkan
jati diri
o, malam dingin begini
Jakal KM 14 Yogyakarta, 09
Juni 2012
Riwayat Sunyi
riwayat yang hilang dan
setumpuk catatan usang menggenangi mata
berserakan!
kertas-kertas dan abu bekas
pemujaan semalam
tentang dunia ilusi yang
melenakan
batu-batu bersimbah tinta
mengarsir sendiri pada nganga
luka
semua ada catatan meski tiada
berguna lagi
namun, mungkin nanti ada
saatnya membuka kembali sejarah dan riwayat-riwayat itu
setelah sekian tahun terpendam
dalam tanah liat dan gersang gurun berpasir darah
kembali pada jalan
masing-masing guna menghisap dosa dan kesalahan
persembahan tak akan sia-sia
meski telah dicampakkan
karena kita manusia
kita manusia
membekukan dan mencairkan
setiap kenangan adalah makna
saling bercerita satu sama
lain
apakah yang kau punyai selain
cinta yang semu belaka
dan apa pula yang aku bisa
selain kesetiaan tiada tara
meski pula terkalahkan
mungkin hanya bualan saja
tak perlu ada usap derai air
mata atau malah menertawakan kebodohan diri
seumpama rumput itu berhenti
bergoyang
buat apalagi tumpahan cerita
kubuang saja dalam tong sampah
biar membusuk lekas
duka yang luas, luka yang
panas
lekas
lekas bias
lekas ampas
kembali membekukan kenangan
dan air mata
matahari tiada lelahnya
menertawakan kesendirian
boleh aku pinjam bahumu
sejenak saja
ada racun di mataku, silau dan
bercak bergantian
ah, robek saja mukaku
aku (tak) pernah mati
menyertaimu dengan segumpal
kesetiaan
Jakal KM 14 Yogyakarta, 01
Juni 2012
Merapu Sunyi
: Murtidjono
sisa-sisa hening ini aku
merapu sunyi
juga bekas jejak yang engkau
tanam di tanah merah
mencaduk pesan-pesan yang
engkau kirim
dalam kerlap malam jua aku
bersungut memaknai semua yang kau perankan
atas segenap kisah manusia
engkau hidup terus mengalir
menguliti jalan sunyi
bahwa puisi bukan pula hal
modular
yang membuat kita hanya puas
terkapar begitu saja
berhenti pada titik langkah
tidak juga engkau menjadi
pandik
itu yang kutangkap dari senyum
senjamu
di halaman, kosong oleh
rerintik air hujan
debu-debu beterbangan beradu
langkah dengan cengkiak
betapa muram tanah-tanah ini
aku semakin tak mengerti
kukira maukuf saat ini
betapa pula aku ceroboh
mengartikan sampaian
pesan-pesan yang engkau tawarkan
yang engkau pentaskan
namun masih ada waktu buat
berkelana
akan kutautkan rindu di
penghujung malam
menyegel pintu-pintu asing
berukup tepat di tengah sunyi
hitam
tingkar pikiran dan kepala
dengan berjuta huruf yang berderet-deret di sekeliling
engkau hidup di kedalaman
makna
hingga hilang sudah sunyi
menjadi embun
maserasi fajar menggertak
aorta
dan mata-mata yang malas
enggan beranjak
memuncak tinggi di nirwana
Jakal KM 14 Yogyakarta, 27
Maret 2012
Catatan: Termaktub dalam
Arisan Kata-17
Memesan Sunyi
kemudian mengguling-guling
memesan sunyi
suara parau dari lubang hidup
yang tertera di dahi
mengejang pekat rerumputan
bergidik
merdu lirih kau sampaikan
salam pada angin
dan suara-suara masih serak
kau titipkan juga segepok
rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk
menggelengkan kepala
oh, marilah kita memesan sunyi
lagi
aku rindu memegang akar yang
menjuntai dari kepalamu
aku tanam dalam kerut dada
yang kasat
oh, marilah kita menenggak
aroma keheningan lagi
aku resah menggapai tangan
yang terkulai ingin memelukmu
di ujung sesuatu, yang aku
ragu menyebutkan nama apakah yang tepat
dan suara-suara masih serak
aku pun demikian menitipkan
jua segepok rindu dalam kepul asap yang tertiup
tak ada alasan untuk menggelengkan
kepala
Karanganyar-Solo, 06 September
2011
Melankoli Penikmat Sunyi
segumpal asap dan melankoli
penikmat sunyi
hidup bukan lagi soal
kata-kata belaka gih
ada garis lain yang terbujur
menanti
dalam spektrum hitam dan
putih*
sekerat daging dan tumpukan
ludah
semakin pudar gelap dan bias
urusan rejeki bukan soal mudah
mesti berpayah tanpa menyerah
lekas
Jakal KM 14 Yogyakarta, 19
Juli 2012
Catatan: * Meminjam dalam
lirik lagunya Koil, Kenyataan dalam Dunia Fantasi
Empat Sajak buat Pemburu Kata
dan Pelarung Sunyi
: Jeni Fitriasha
/1/ Gelisah Pemburu Kata
gelisah merah membawa hujan
menyentuh tanah
lalu terdiam lelah
memburu deru yang patah
benar, lelah jua daku memburu
dalam daftar menu perburuan
panjang musim yang tak menentu kini
meski lelah telah memaku bahu
kuyakinkan diri tak bisa
berhenti di sini
hujan yang sempat bersemat
cuma sebentar saja melumat debu-debu
“dikau hey nona perajut
butiran kata!”
tolong sediakan karung yang
besar buat menampung pilu
berjalan berkerat diri menuju
haluan
menuju arsiran debu-debu yang
beterbangan
Ruang Maya, 31 Juli 2010
/2/ Ruang Sunyi Untukmu, Jee
ruangku sunyi
ruangmu pun terlalu sunyi
ternyata
ada sunyi di setiap diri kita
hariku sunyi
harimu pun terlalu sunyi
untukku
hari ini, bertambahlah
kesunyian
: yang kau punyai
Ruang Maya, 03 Juni 2011
/3/ Angin dalam Darah
ada seutas tali mengikatkan
alunan napas pada derap-derap tempo mata
memicing seperti anggur yang
merasakan kepahitan
ada yang tertawa
dia bersembunyi dalam melodi
darah
di setiap lekukan membulat
kenyal mengental
daun-daun berkelakar, disambut
angin buat kita kumalkan di setiap lekuknya
Ruang Maya, 06 September 2011
/4/ Aku Pinjam Napasmu Sejenak
aku tak bisa mencuri napasku
sendiri, terlalu sesak mendesak-desak
aku ingin meminjam napasmu
buat kujelajahi sejenak
ruang yang kau berikan; yang
luas
kemudian aku singgah di
pelataran senja yang jingga sambil menahan napasmu yang wangi
lalu kita termangu akan
kecerobohan kita
atau memang itu sudah tertulis
dalam kitab di atas sana
kita memungut sisa-sisa hari
yang menyesakkan dalam kegalauan yang tidak bisa lagi dirasakan
kita sama-sama terkulai
malam hitam yang serasa neraka
kita tidak bisa meminta napas
lagi pada Tuhan
kita telah menghilangkan
napas-napas itu
kita hanya berharap selesap
bayang yang menjelma napas-napas kita
entahlah sepertinya telah
lelah sangat mengejar bayang itu
kembalilah napas, aku hanya
ingin menikmati sejenak saja
bersama tetes-tetes air
penyesalan atau hanya gurau belaka
menipu kepada mata yang tak
terdeteksi oleh rasa kita yang mudah dicuri oleh senja
kemana lagi malam ini
menumpahkan hasrat
sebab napas kita telah
terenggut
di ruang sunyi ini kita
menabur duka pekat
sebab malam akan menikam kita
dengan cengkeram maut
dan dengan segala keangkuhan
dia tertawa
dan dengan segala angkara
muntahkan murkanya
dan dengan segala duka
benamkan air mata nestapa
dan dengan segala hitam
menancapkan cakar-cakarnya
: ke dalam sukma yang terdalam
sepertinya kau takkan kembali,
hai senja
kukira siluet indahmu
menyimpan kisah manis
kukira tubuh ini takkan
bertahan lama
siluetmu yang menggigilkan
tubuh ini; tragis
luka-luka yang menancap seakan
kekal kita rasakan berdua
mata kita semakin lelah
menangkap gelap
telinga kita semakin tuli
menyerap bunyi
lantas kita hanya bercakap
pada diri masing-masing
malam semakin cepat mengelam
diri
kau, mendekatlah
memeluk erat sisa-sisa
kenangan pahit ini
sampai bertemu di hidup yang
akan datang
air mata yang sempat mengalir
berhenti
ada secercah harapan di ufuk
timur
kita masih berpagutan sunyi
karena duka semalam tak kuasa
kita bendung, tak kuasa kita genggam
perjalanan ini belum usai dan
kita saling memagut pada ketakwarasan ini
Ruang Maya, 25 Desember 2009
Taman Telah Sunyi
menghitung deru napasmu
berhamburan setiup-setiup
seperti semerbak bunga taman beterbangan di udara
penuh seluruh memandang
tak ada lagi cerita-cerita
tentangmu
yang seperti drama sinetron,
katamu
kutunggu deru jejak di jalan
itu
yang sering kita lewati
bersama ketika senja menghangat
detik-detik habis pula kisah
taman telah sunyi
tiada lagi kudengar napasmu
menggelora di telingaku
senja telah menggigil
pada ruh yang terpanggil
tak ada perkabungan
tak ada bunga kamboja sebagai
pemisah jarak antara aku dan hasratmu
Karanganyar-Solo, 30 Oktober
2010
Catatan: Dimuat Solopos, edisi
Minggu 15 Mei 2011
Ruang Sunyi, Distorsi Rindu
: Ibnu Purdiavril Nugroho
(Sinyo April)
serupa apa rindu yang kita
buat
bermalam-malam sunyi kadang
kita renggutkan denting-denting sunyi
dan kepul asap secangkir kopi
yang melekat
kita anyam puisi yang merona
di dalam rongga dada yang
kasat
Ruang Maya,Karanganyar-Solo,
25 November 2011
Birahi
tubuh kita adalah puisi
bertautan dalam kepul asap
secangkir kopi
kita sering melukis pelangi
dengan ampas kopi sisa
senggama
mataku beradu matamu
seperti mug atau cangkir yang
selalu rindu panas kopi
derai malam menjadi saksi
terlalu bisu
untuk kemenangan kita mendaki
birahi
Sukoharjo-Solo, 06 Desember
2012
Bait Sunyi Perajut Kata
lebih deru mana cinta semu dan
anggur yang memabukkan
hatinya menginginkan sebuah
cinta dari adinda
sementara ada cinta bertepuk
sebelah tangan
maka ia memilih anggur-anggur
itu dari pada ia buta
lebih syahdu mana lagu
romantika dan bait-bait sunyi perajut kata
tangannya menginginkan
ketersampaian rindu-rindu hitamnya
sementara ada hati lain yang
mencoba memikatnya
maka ia memilih jalan sunyinya
sendiri tanpa ruh sang kekasihnya
Jakal KM 14 Yogyakarta, 16
Juni 2012
Kesunyian Ini Abadi
mencari mata
mencari pelangi
lama berjalan, bertepian
menyusur debu-debu dunia sunyi
merasakan api
merasakan beku
berdenyut nadi, mengalir maki
serupa lahar menuju laut mati
takkan kulepaskan walau
sejenak
biarkan mereka tertawa
terbahak
denting lonceng malam
hampa dan ingin bercerita
seolah ada deru cinta yang
menggebu dalam dada
bahagia mana, lagu-lagu sunyi
yang dipuja
dan gelap cinta buta
hampa dan mengulang cerita
segenap kesedihan menumpuk
sesak di dada
Jakal KM 14 Yogyakarta, 17
Januari 2012
Adakah Sunyi Lagi
semalam sunyi mengepung diri
pada keping sunyi
hampir hilang
jejakmu selalu terpatri
senyummu abadi
serona ini
senja menyapa lagi
di kebalauan petang
semakin rindu lagi
semakin sirna diri
Jakal KM 14 Yogyakarta, 30 Mei
2012
Kesunyian Ini Masih Milik Kita
"…nasib adalah kesunyian
masing-masing”. (Chairil Anwar)
mari berselancar dalam panas
secangkir kopi
mengentalkan keringat malam
(pagi) ini
menitis embun di ufuk fajar
nanti
mengunyah nasib masing-masing
yang berjejal dalam birahi
Karanganyar-Solo, 13 November
2011